Kapan hari saya tidak sengaja melihat reels yang berseliweran di fyp Instagram. Entah siapa yang pertama kali membuat konten tersebut, pada intinya membahas seorang ibu yang menitipkan anaknya di daycare atau sekolah khusus bayi/balita. Seperti ini kalimatnya 👇
Alhasil saya pun membuat story balasan yang kurang lebih isinya berupa tulisan dengan sedikit bumbu emosi dan kebawa perasaan alias senggol bacok nih bos. Haha
Cewek Kok Kerja? Takut Miskin?
Saat membaca konten tersebut, saya betulan tersinggung dengan kalimat "saking takutnya miskin, anak rela dititip". Waduh waduh yang ngomong begini emang udah se-kaya apa seh? Emang kalian mau miskin? Dah punya tabungan berapa seh? Pernah ngerasain jadi sandwich generation kagak? Udah mikirin finansial keluarga buat anak cucu belom? Duh, saya bukan berniat adu nasib yaa. Tapi gambaran problematika general di luaran sana.Kalian tidak akan pernah merasakan kecuali berada di satu kapal yang sama, dalam hal ini artinya kondisi kehidupan yang serupa dengan masing-masing ibu di luar sana. Padahal judgement seperti itu tidak bisa kita sama ratakan dalam kondisi keluarga dengan segala macam permasalahannya.
Sebagai orang tua, kami para ibu pekerja juga ingin membersamai anak selama 24 jam sehari. Menemani anak dalam setiap proses tumbuh kembangnya dan membekalinya dengan segala macam ilmu untuk menghadapi dunia. Namun dengan sangat berat hati, semua itu harus kami relakan karena keterbatasan waktu dan mungkin juga materi.
Ibu mana yang mau anaknya dititipkan begitu saja padahal tahu risiko berkurangnya kesempatan bonding bersama anak. Siapa juga yang mau meninggalkan anak karena harus bekerja? Saya yang sudah dewasa ini ngebayangin masuk daycare saja ngeri, karena saya introvert sih ya, tapi bayangin aja anak sekecil itu berada di tengah situasi yang belum pernah dia hadapi/rasakan, isinya guru dan murid tanpa ada ikatan persaudaraan, sangat asing bahkan di umur sekian dia terpaksa harus beradaptasi. Sedih, pasti! Berat, iya!
Jangankan ke daycare, menitipkan ke orang tua saja masih harus melalui banyak pertimbangan. Banyak risiko dan konsekuensi yang menanti di depan. Karena perbedaan masa pengasuhan, perubahan pola pikir jaman sekarang, dan perkembangan ilmu teknologi, serta lain sebagainya. Tak jarang sampai ada perdebatan hebat antara ibu pekerja, ibunya atau ibu mertua.
Cewek yang memilih untuk melanjutkan karir, secara bersamaan dia juga memilih untuk menempuh jalur yang rumit. Bekerja bukan berarti lari dari tanggung jawab seorang ibu dan istri. Ibu pekerja juga tetap harus memikirkan permasalahan rumah, sangat kompleks karena memikirkan masalah yang ada di kantor juga. Perjuangan tersebut akan terasa mudah asalkan suami selalu ridho dan mengiringi do'a di setiap langkah istrinya.Tidak semua cewek yang bekerja itu karena "takut miskin", memang tujuan utama bekerja adalah untuk mencari uang, tapi fokus dan tujuan kami bukan disitu. Cewek yang memilih bekerja pasti ada alasan tertentu, suatu sebab yang tidak perlu dijelaskan satu per satu agar seluruh dunia tahu.
Biasanya cewek memilih tetap bekerja karena beberapa alasan berikut :
- Meringankan beban suami dengan tidak menjadi beban hidupnya
- Sebagai bentuk mengekspresikan diri sendiri
- Mengejar impian yang sudah disiapkan jauh sebelum menikah
- Mengaplikasikan ilmu yang bermanfaat untuk orang lain
- Sebagai bentuk usaha mencapai goals yang ditargetkan berdua dengan suami
- Membalas budi orang tua meski pengorbanannya tak bisa dikembalikan dengan uang
- Merealisasikan harapan orang tua
Jika demikian, apa pantas pemikiran "takut miskin" tersebut keluar dari sesama perempuan? Sesama ibu dan calon ibu? Ya gapapa kok boleh banget kalau masih mau julid lagi. Silahkan. Netizen maha benar. Astaghfirullah.
Anak Bayi/Balita Sudah Sekolah dan Daycare, Terus Kenapa?
Wahai para perempuan yang budiman, terkhusus untuk ibu-ibu julid yang kurang kerjaan sampai ngorek informasi ke tetangga sebelah. Apakah usahamu sudah maksimal dalam mempersiapkan dan menata masa depan anak?Terlepas dari status sebagai ibu, kami pun memiliki tanggung jawab masing-masing yang berbeda pula porsinya. Memutuskan untuk menjadi full IRT, working mom, atau WFH mom, ataupun ibu yang bekerja kemana-mana, semua sudah ada konsekuensi dan pengorbanan masing-masing. Karena pilihan terbaik sesuai kondisimu, belum tentu baik untuk semua orang. Banyak variabel penentu yang tak bisa dipaksakan.
Belakangan ini memang sedang ngetrend ibu-ibu yang memasukkan anak ke sekolah bayi/balita atau daycare. Banyak sekali alasan-alasan yang melatarbelakangi orang tua hingga memutuskan menitipkan anak kepada ahlinya. Yaps, ahli disini maksud saya sesuai dengan lingkungan berada, di sekolah berarti ada guru atau Ustadzah, jika di tempat pengasuhan berarti ada suster penjaga, atau bahkan ke orang tua pun bisa disebut ahli juga karena pengalaman mereka mengasuh kita sejak kecil.
Masih bayi kok udah sekolah? Ya terus kenapa? Itu mungkin salah satu jalan yang diambil dengan harapan bisa menjadi solusi terbaik, baik untuk anak dan orang tuanya. Sebagai ibu pekerja, menitipkan anak pasti sudah melalui banyak pertimbangan, diskusi, pro/kontra, risiko dan konsekuensinya. Semua pilihan yang diambil pasti ada sisi baik dan buruknya, tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Tidak ada salahnya orang tua ingin memperjuangkan masa depan anak, mungkin salah satunya dengan cara begini. Gak salah juga jika mereka bersemangat mencari uang untuk memberikan pendidikan anak yang paling baik.
Memang betul saat di akhirat nanti yang dihisab perihal pengasuhan anak adalah kita sebagai orang tua, tapi kalian tahu apa? Apa sudah dapat bocoran nilai pahalanya seberapa? Sampai-sampai berani merendahkan keputusan ibu lain seperti itu.
Padahal tanggung jawab terhadap anak tidak melulu soal ibu yang mendidik secara langsung, tapi juga bisa dinilai dari usaha ibu untuk mencari kualitas pendidikan terbaik untuk anak. Udah lah, urusan akhirat itu antara Allah dan manusia-manusia, kalian tidak perlu ikut campur sampai merasa pilihan kalian yang terbaik.
Padahal ketika menitipkan anak di daycare atau sekolah bayi, mereka bukan hanya sekedar penitipan anak, tapi juga ada kurikulum pendidikan seperti melatih perkembangan sensorik, motorik, dan belajar sosialisasi dengan orang baru.Wahai kaum bondang-banding, bukan mendang-mending nih ya. Wkwk alias kalian yang suka membandingkan keadaan orang lain, yang cuma bagian nonton sambil bergunjing, lebih baik kalian diam dan tidak banyak berkomentar. Sharing pengalaman dan ilmu boleh kok, tapi bukan sebagai ajang adu nasib ya.
Gimana kalau ternyata banyak orang yang bergantung pada kami sebagai ibu pekerja? Ya kan ada suami! Eh bukan begitu konsepnya, menurut saya menikah itu bukan untuk memberikan beban baru untuk suami. Memang betul hidup bersama apapun kondisinya dirasakan berdua. Tapi ya bukan di tahap memanfaatkannya. Kalau saya sebisa mungkin gak mau ngerepotin suami dengan beban keluarga istri yang seharusnya dia gak perlu lakukan itu. Contoh : membiayai hidup keluarga besar. Dia pun sudah ada tanggung jawab pada istri dan anak-anak, ditambah kedua orang tua kandungnya. Tapi it's okay jika suami sangat terbuka dan mau menanggungnya bersama. That's on another level husband.
Quality Matters More Than Quantity
Saya masih berpegang prinsip bahwa kualitas waktu bersama anak lebih penting dibandingkan banyaknya waktu kita menemaninya. Yaps, quality matters more than quantity. Tentunya karena saya tidak bisa mengawasinya 24 jam sebab tanggung jawab pekerjaan di kantor. Tapi saya percaya bahwa sisa-sisa waktu yang saya berikan untuk Asiy harus lah momen yang berkesan untuknya.Tidak selamanya ibu pekerja itu tidak becus merawat dan mendidik anak, nyatanya menjadi full IRT pun tidak menjamin anak tumbuh dan berkembang tanpa ada kendala/masalah. Maaf ya bukan saya meremehkan IRT, tapi waktu yang kalian lalui bersama anak bisa saja berlalu begitu saja jika tidak dimanfaatkan dengan benar.
Banyaknya waktu bersama anak tidak membuat ia akan terhindar dari keterlambatan tumbuh kembang. Karena sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi anak mengalami masalah perkembangannya, seperti broken home, fatherless, kedua orang tua yang tidak peduli, kurangnya wawasan parenting untuk anak-anak, penyakit bawaan dari lahir, dll. Jangan langsung men-judge ibunya saja yang salah! Karena kenyataan di lapangan belum tentu begitu.
Menurut Dr. Dan Siegal, Penulis buku terlaris di New York Times dan profesor psikiatri di UCLA, menjelaskan bahwa meluangkan waktu berkualitas hanya 10 menit saja untuk anak bisa memberikan efek yang signifikan pada tumbuh kembang mereka seperti meningkatkan bonding dengan orang tua, naiknya kepercayaan diri, bagus untuk perkembangan otak serta perilaku anak. Betul gaes, cuma 10 menit saja lho setiap hari!Caranya gimana? Luangkan waktu untuk bermain, mengobrol, dan berbagi pengalaman berdua antara ibu dan anak tanpa adanya gangguan, fokus ke bonding yang sedang terjalin. Buat kalian ibu pekerja, apakah 10 menit itu terasa berat? Tentu tidak ya, bahkan masih jauh lebih lama jam istirahat kita di kantor. Kalau masih merasa "saya gak punya waktu 10 menit itu!" sini deh saya kasih bocoran kapan waktu yang tepat, untuk mendapatkan 10 menit itu dalam sehari :
- Sebelum bekerja/anak sekolah : bisa dengan membicarakan jadwal yang direncanakan pada hari itu, bahas pekerjaan kantor atau hal yang ingin dilakukan anak
- Setelah bekerja/anak sekolah : bermain dengan anak, no gadget & screentime, hanya fokus ke anak dan bersenang-senanglah. Selalu melibatkan anak dalam semua pekerjaan rumah yang kalian lakukan sepulang kerja, tanyakan apapun pada anak, ajak mereka berinteraksi, menyanyikan lagu atau membuat sesuatu.
- Sebelum tidur : bacakan cerita dongeng atau buku untuk anak sebelum ia terlelap tidur, bicarakan tentang rasa syukur, hal baik apa yang terjadi pada hari itu, tentang momen saling membantu orang lain atau hal baru apa yang sudah kalian lakukan
Penutup
Setiap ibu mempunyai cerita dan perjuangan masing-masing yang tidak selalu diperlihatkan. Biasakan untuk tidak mudah men-judge apapun keputusan ibu lain, saling menghargai dan berusaha memahami kondisinya, tidak mudah berkomentar dan tidak merasa bahwa pilihanmu lah yang paling benar dan baik.
Di tengah banyaknya tuntutan untuk ibu, seberapa tinggi ekspektasi dunia terhadap kita para ibu, yuk saling menguatkan dan bukan saling menjatuhkan! Apalagi membanding-bandingkan hidupmu dengan hidupnya 😅
Jangan lupa ya, it's okay to not to be okay. Karena kita ini hanyalah manusia biasa.
Referensi :
- Gambar diambil dan diedit via Canva
- https://firstthings.org/when-it-comes-to-parenting-quality-matters-more-than-quantity/
Tidak ada komentar
Posting Komentar