Setelah sekian lama menghilang dari dunia penulisan blog ini, ketemu lagi dengan cerita persalinan yang sudah masuk di bagian ke-3 ini.
Assalamualaikum pembaca setia blog ini, masih mau lanjut kan yaa? Semoga part ini yang terakhir yaa, biar bisa dilanjut ke cerita atau artikel lainnya. Sudah dulu intronya, kita langsung masuk ke cerita intinya.
Trimester Ketiga, Persiapan Lahiran
Akhirnya waktu cuti pun segera dimulai, seharusnya saya cuti mulai tanggal 1 Juni 2021, tapi untungnya saat itu tanggal 30-31 Mei tepat hari libur kantor, Sabtu-Minggu, jadi Jum'at itu malam terakhir saya kerja, langsung mudik diboyong mama ke rumah. Maklum saat itu saya sendirian di rumah kontrakan karena suami dinas di luar pulau. Alhamdulillahnya jadi berasa cuti lebih cepat.
Hari demi hari saya jalani dengan persiapan persalinan, karena saya sangat-sangat ingin bersalin normal dengan proses pervaginam. Banyak sekali yang saya lakukan sesuai anjuran orang tua atau orang-orang sekitar rumah saya. Mulai dari jalan kaki dan merangkak setiap hari (kalau ini sudah saya mulai dari kehamilan 37 weeks), senam yoga, minum virgin coconut oil, bahkan sampai minum minyak Sunc* yang konon katanya jernih seperti minum air. Saya juga makan kuning telor kampung, mentahan gitu, sekali teguk. Tapi habis tu tidak saya teruskan, soalnya ibu hamil kan gak boleh makan makanan mentah, takut bakteri patogennya ngaruh ke janin. Awalnya diiyain aja, terus saya baca - baca lagi akhirnya sadar diri. Yah saking semangatnya buat lahiran normal guys. Tapi ya sambil dipilah-pilah pakai akal sehat lho ya. Hehe
Tanggal 2 Juni 2021, kurang lebih seminggu sebelum HPL, saya ada jadwal tes kehamilan ke rumah sakit terdekat. Berangkat jam 7 pagi untuk bertemu dengan dokter kandungan, berharap mendapat kabar baik saat itu. Ternyata dokter memberikan hasil USG yang bisa dibilang kurang baik. Katanya air ketuban saya sudah keruh dan posisi kepala bayi kurang optimal, jadi dokter menyarankan saya untuk yoga kehamilan di usia 39 weeks supaya kepala janin masuk ke panggul. Padahal minggu sebelumnya saya USG di klinik yang biasanya, dokter disitu bilang kalau kepala bayi sudah pada posisi yang sangat optimal dan siap untuk lahiran normal. Sungguh Allah yang Maha membolak-balikkan keadaan.
Saat pulang saya bertekad untuk senam yoga setiap hari supaya kepala baby bisa masuk ke jalan lahir. Saya imbangi juga dengan merangkak ngepel dan saran dokter juga harus mengurangi jalan kaki supaya kaki tidak bengkak. Saya nurut saja kan ya.
Selama seminggu terlewatkan, dan tepat pada tanggal 7 Juni 2021 (padahal besoknya sudah HPL) kacamata saya patah, akhirnya dengan sangat terpaksa saya pergi ke mall dekat rumah untuk ganti kacamata. Sungguh hari yang berat, dengan kondisi perut super jumbo, nafas engap dan jari-jari yang sudah membengkak, saya berjalan naik turun excalator di hari itu. Pulang ke rumah, pinggang saya terasa linu, sampai-sampai semalaman tidak bisa gerak dan mengharuskan saya tiduran di kasur, bahkan sholat saja sambil duduk. Mengsedih sekali.
Eh di sisi lain mama saya sudah deg-degan dikira sudah siap lahiran karena kondisi badan yang sudah gak bisa gerak leluasa. Padahal saya tidak merasakan hal apapun. Katanya sih tanda-tanda lahir itu ada beberapa ya, seperti keluar lendir darah, perut terasa kencang dan mules-mules dikit. Hmm saat itu saya sama sekali tidak merasakan satu diantaranya. Sempat panik, kenapa ya sudah dekat HPL tapi gak kerasa tanda lahirnya? Tapi karena saya tipe orang kalem aja, saya dengan tenang mengikuti arahan dokter untuk kembali kontrol di tanggal 9 Juni. Nah iya, sudah lewat satu hari pasca HPL.
Seperti biasanya, saya berangkat jam 7 lebih 10 di hari Rabu untuk kontrol kandungan, ternyata dokter masih bilang kalau kondisi ketuban saya sangat keruh, harus segera dilahirkan (takutnya bayi keracunan air ketuban kotor). Dan Alhamdulillah latihan yoga saya selama seminggu membuahkan hasil lho guys, posisi bayi sudah optimal dan dokter sarankan untuk melakukan prosedur induksi keesokan harinya. Ada yang tau induksi itu apa sih?
Prosedur Induksi dilakukan untuk merangsang/meningkatkan kontraksi rahim guna mempercepat proses persalinan. Beberapa alasan kenapa perlu dilakukan prosedur induksi adalah kontraksi belum terasa meski ketuban sudah pecah, sudah melewati Hari Perkiraan Lahir (HPL), dan kehamilan resiko tinggi. Sedangkan beberapa metode induksi diantaranya yaitu membrane stripping, memecahkan kantung ketuban, mematangkan leher rahim (dengan obat minum dan obat yang dimasukkan ke jalan lahir), atau bisa dengan suntik hormon oksitosin yang dialirkan ke pembuluh darah.
Keesokan harinya saya disuruh kembali ke RS, sambil ngelus perut besar "wah kita ketemu besok ya dek di dunia". Untungnya H-Seminggu, saya dan mama saya sudah mempersiapkan perlengkapan melahirkan complete set dalam tas, tinggal pickup aja kalau misal tiba-tiba ada keadaan darurat, jadi H-1 sebelum opname saya dan mama santai sangat. Malam harinya saya merasakan dede bayi di dalem perut bergerak lebih intens ke bawah, perut saya kaku dan terlihat miring-miring, sepertinya dia mencari jalan lahir ya. Tapi saya tetap tidak merasakan kontraksi sama sekali, apa memang itu yang dinamakan kontraksi? Hari Kamis 10 Juni 2021, saya kembali ke rumah sakit yang sama dan diminta untuk daftar ke ruang UGD. Waduh, ke UGD macam emergency kali ya waktu itu. Padahal saya masih bisa jalan sendiri, kesana kemari bawa keperluan bayi. Tapi sambil di bantu mama sih bawanya. Dan mama juga yang mengurus segala macam administrasi di rumah sakit. Tindakan pertama kali di ruangan itu saya langsung diperiksa tensi, swab antigen (Alhamdulillah negatif), diambil sample darah dan rekam jantung. Loh kenapa? Kata bidan disitu sih buat mengetahui apakah kondisi tubuh saya siap menerima suntikan induksi dan lanjut ke prosedur-prosedur melahirkan lainnya.
Drama Melahirkan pun Dimulai
Alhamdulillah, sampai juga di cerita penghujung perjuangan melahirkan seorang bayi di dunia. Setelah melalui proses pemeriksaan, bidan mengantarkan saya ke ruang rawat inap. Saya ingat waktu itu masuk di ruangan Acasia kelas 1. Eh ada teman seperjuangan yang HPLnya sama persis tanggal 8, masih satu ruangan sebelahan ada suami dan ibunya. Cuma beda kasusnya, air ketubannya rembes dan sudah habis, jadi anak harus segera dilahirkan juga. Mereka (suami istri) tidak mau pakai prosedur induksi, mereka pilih caesar sebagai pilihan pertama. Jadi pagi itu, Kamis tgl 10 Juni 2021 pertama-tama saya disuntik cairan infuse terlebih dulu sejak di ruang UGD, sekitar jam 10 pagi suster kembali ke ruangan saya dan membawa 1 kantong cairan yang ternyata isinya hormon oksitosin, yang mana mau dipasangkan ke selang infuse saya. Dan semenit dua menit, saya masih lincah kesana kemari dalam ruangan menyambut gelombang cinta yang perlahan-lahan mulai muncul. Tidak butuh waktu lama, kontrakai pun datang, perut semakin kencang dan mules menjadi-jadi. Sekitar jam 11 siang, saya sudah mulai merasakan sakit perut. Kalau persalinan normal yang alami (tanpa induksi), konon katanya kontraksi akan dirasakan secara berkala dan rutin, ada pola tertentu. Sedangkan kontraksi yang saya rasakan sejauh ini tidak beraturan, literally setiap menit sepertinya perut selalu kencang. Saya berusaha menahan dan tenang, menikmati semuanya demi si jabang bayi keluar dengan sehat, bahkan mama sampai bilang "kalau sakit nangis aja nok, gapapa". Saya cuma mengepalkan tangan dan berusaha kalem saja. Semua saya lalui berjam-jam, tidak bisa tidur, dan sakit dimana-mana sekujur tubuh. Tentunya ditemani dengan mama yang siaga menyiapkan kipas angin ke kanan dan ke kiri karena saya "sumuk puol" padahal sudah di bawah AC. Tapi memang waktu itu serius panasnya gak karuan, super duper panas. Tidak lama setelah sholat Isya' seorang bidan masuk ke ruangan saya untuk pengecekan dalam, dan ternyata sakitnya setengah hari tadi tidak membuahkan hasil, pembukaan 0. Bidannya sambil bilang "kita tunggu tengah malam ya mbak, sambil saya konsultasi dengan dokter kandungannya, baiknya dilanjut induksi atau langsung tindakan". Saya masih bisa sabar dan menahan sakitnya kontraksi tidak beraturan sambil jawab "iya mbak gapapa, semoga masih ada harapan". Menuju tengah malam, tepatnya setengah 11 malam, bidannya kembali lagi untuk pengecekan kedua kalinya, dan hasilnya masih nihil, sambil beresin peralatan bu bidan ngasih kabar dari dokter "gak bisa ditunda mbak, ketubannya udah keruh banget malah jadi racun buat anaknya. Besok pagi kita tindakan caesar jam 7 ya, malam ini makan maksimal sampai jam 2 lalu lanjut puasa". Tau dapat kabar begitu, saya dah gak bisa berpikir normal dan positif. Yang ada malah menyalahkan diri sendiri. Tadinya gak sampai nangis karena sakit induksi, dengar kabar begitu malah nangjs sejadi-jadinya. Drama banget memang! Nangisnya bukan karena sakit kontraksi, tapi karena dikabarin besok pagi harus operasi. Tidur malam semakin tidak nyenyak, berusaha ngobrol sama calon jabang bayi, kasih afirmasi positif, ayo nak sudah waktunya keluar dari perut ibu, semangat cari jalan keluar yaa! Barangkali ada harapan. Sungguh hal yang menyayat hati adalah ketika efek induksi ibu bisa melihat perut yang kontraksi meleyot-meleyot tandanya anak ibu sedang berjuang mencari jalan keluarnya, ketika gerakan meleyot itu berhenti walau sepersekian detik saja, hati ibu sakit karena ibu pikir perjuanganmu sudah terlalu keras berusaha untuk keluar nak. Jujur sepanjang malam ibu dan calon utimu tidak bisa tidur menunggu pagi datang. Karena ibu tidak tidur, otomatis kamu juga tidak tidur di dalam sana, masih berusaha mencari dan membuka jalan keluar.
Adzan subuh di HP ibu berkumandang, dengan kondisi perut semakin super sakit sambil dituntun oleh mama masuk ke kamar mandi untuk ambil air wudhu dan persiapan sebelum operasi (waktu di ruang operasi tidak boleh pakai aksesoris dan baju harian). Saat itu ibu sedikit ada harapan karena melihat lendir merah darah yang keluar. Karena demikian, ibu tidak jadi sholat subuh, langsung persiapan lepas aksesoris semuanya. Meskipun harap-harap cemas, keputusan operasi di pagi itu sudah berjalan sesuai yang dijadwalkan. Menjelang matahari terbit, bidan yang biasanya kembali ke ruangan untuk memasang kateter. Sebelum itu saya menyampaikan apa yang saya alami saat subuh tadi dan minta dicek apa sudah ada pembukaan. Sesuai tebakan kalian, hasilnya nihil! Pembukaan 0. Wow sesakit itu, kontraksi semakin kencang, sudah keluar darah, tapi tanpa pembukaan. MasyaAllah. Hehe
Tibalah saat kasur pasien saya didorong menuju ke ruang operasi, saat itu saya ditemani oleh mama dan ayah saya di luar ruangan. Masih menunggu giliran saya dari bilik sebelah terlihat seorang dokter yang sedang mengoperasi ibu lainnya, seharusnya saya yang dioperasi pertama karena sudah melewati prosedur induksi tanpa adanya pembukaan. Ibaratnya saya hanya dapat sakitnya doang. Namun karena keadaan lebih urgent jadilah ibu tersebut yang ditindak pertama kali. Saya dapat nomor urut kedua. Terlihat bayangan pisau-pisau dokter dari pintu metal. Wah sebentar lagi giliran saya dibedah! Saya elus-elus perut sambil memberikan afirmasi positif buat si adek.
"Dek, sebentar lagi kita ketemu di dunia, sebentar lagi ibu bisa lihat wajah dede, dede juga bisa lihat wajah ibu, sehat-sehat yaa, dede anak yang kuat"
Dan dokter anestesi pun mendekati meja saya sambil memberikan arahan-arahannya. Saya diminta bertelungkup sekencang mungkin, sambil memegang lutut dan kaki ditekuk. Dokter satunya sibuk mengajak ngobrol saya, sesekali mengecek layar monitor. Datanglah dokter kandungan dan asistennya menyiapkan pisau bedah. Perut saya sudah ditutupi papan/kain lumayan tinggi, hingga saya pun hanya bisa melihat kepala dokternya saja. Dokter mencoba cek reaksi anestesi dengan mencubit kaki saya, ada rasa cubitannya tapi tidak sakit. Dan operasi pun dimulai, terasa ada sayatan pisau, entah saya gak kepikiran seberapa panjangnya. Seketika itu terdengar suara tangisan bayi yang menyeruak di ruang operasi itu, bidan pun segera menghampiri dan menggendongnya. Saya mengintip dari ujung mata, bayi kecil mungil yang masih berlumuran air ketuban hijau bercampur darah dan lemak, mata saya pun mengikuti jalannya bidan itu karena penasaran. Tak lama bayi itu didekatkan ke dada saya untuk IMD (Inisiasi Menyusui Dini). "Assalamualaikum ibu, anaknya cewek cantik, normal dan sehat" kata bidannya.
Dalam hati saya waktu itu, "ternyata seperti ini anak ibu yang ada di dalam perut, MasyaAllah Tabarakallah, saya sudah resmi menjadi seorang ibu". Jadi nangis gak bun waktu pertama kali lihat si bayi? Jawabannya ya nggak, saking bahagianya saya sampai gak bisa nangis, yang malah orang tua saya dan suami nan jauh disana.
Kembali ke cerita operasi waktu itu, dokter fokus dan sesekali ngobrol bercanda supaya meleburkan suasana tegang di ruangan. Eh mana ada tegang, malah dokternya pada happy di dalam. Selesai dokter menjahit jalur keluar bayi di perut saya, saya dibawa ke ruang observasi. Alhamdulillah kondisi saya waktu itu terkontrol dan stabil. Cuma yang gak habis pikir disaat harus melawan rasa dingin setelah operasi, rasanya seperti sedang berada di puncak gunung es. Badan menggigil, mulut kaku, gigi menggertak tidak terkontrol. Saya dengan sadar masih sempatnya request ke perawat untuk menaikkan suhu AC di ruangan itu dan minta selimut tambahan. Mungkin setengah sadar dikira saya mengigau, tapi permintaan saya sepertinya tidak ngaruh, karena dinginnya masih terasa sama.
Hanya sekitar 30 menit saja saya sudah kembali ke ruang rawat inap, disusul dengan si bayi kecil yang sudah cantik pakai baju dari rumah sakit. Hehe iya bajunya malah dipinjamin dari RSnya, padahal sudah bawa baju newborn. Hari pertama bersama si kecil ngapain bun? Kalau gak nenen ya tidur! Karena semalaman begadang, si bayi ini jadi nguantuk berat, alhasil dia tidur pulas. Alhamdulillahnya ASI saya sudah keluar dari sejak di ruang operasi saat IMD, jadi si bayi tidak rewel kekurangan minum, dia malah asik tidur.
Target yang harus saya capai di hari kedua adalah belajar duduk sendiri. MasyaAllah! super duper! begini ternyata perjuangannya. Tapi saya tidak boleh dan tidak akan menyerah, pikir saya waktu itu adalah saya harus cepat jalan sendiri supaya bisa gendong si bayi.
Nah di sore harinya saya sudah berani ke toilet sendiri untuk buang air, tapi masih dengan kondisi badan setengah membungkuk. Padahal pantangan dari mama setelah operasi SC adalah saya tidak boleh berjalan sambil membungkuk. Kan mau gimana lagi, ini kalau dipaksa rasanya kayak jahitan mau sobek loh. Lebay sih, tapi bener separno itu guys. Jadi PR saya adalah jalan seperti orang tidak sakit, mudah kok, tapi susah dalam prosesnya.
Akhirnya tiba di hari Minggu, saya, mama dan si bayi mungil ini sudah diperbolehkan pulang. Tidak lupa saya sarapan pagi yang banyak, makanan dari RS ini enak banget emang, minum obat dan air putih yang banyak biar ASI lancar jaya dan ada tenaga untuk turun dari lantai 3 ke lobby rumah sakit. Haha ssttt, padahal saya mah didorong naik kursi roda sambil gendong anaknya. Tak lupa disini saya juga mau mengucapkan terima kasih kepada seluruh perawat dan staff rumah sakit yang dengan sabar menjawab semua pertanyaan dan merawat saya dengan ikhlas. Saya akui pelayanan di rumah sakit ini memang sangat top meskipun pakai BPJS tapi InsyaAllah tidak ada diskriminasi untuk pasiennya. FYI, untuk melahirkan di rumah sakit besar seperti ini Alhamdulillah biaya sudah tercover BPJS, saya hanya membayar untuk obat infus tambahan (biasa dipakai dalam metode ERACS) dan perlak medis saja. Saya kurang tahu detailnya mengenai obat infus tambahan ini memakai jenis obat apa, tapi yang jelas obat tersebut diinfuskan menggunakan mesin timer khusus, obat ini bisa membantu mempercepat pemulihan dan mengurangi rasa sakit. Jadi beneran deh, kalau kalian mau operasi SC saya sarankan meskipun pakai BPJS, minta obat infus tambahan ini deh. Soalnya beneran baru seminggu pasca melahirkan saya sudah bisa naik turun tangga dan duduk di kasur lantai. Beuhh kalau dibayangin kayak sakitnya minta ampun, tapi gak separah itu kok. Kapan-kapan kita bahas tentang ikhtiar apa saja yang saya lakukan selama pemulihan pasca melahirkan yaa? mau kan?
Untuk cerita melahirkan kali ini saya tutup sampai disini dulu. Kurang greget? Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar yaa.
A never ending happiness! berangkat berdua pulang jadi bertiga. Dunia ibu sudah berubah sejak kehadiranmu nak, bukan, maksud ibu sejak kamu masih berupa segumpalan darah di dalam perut ibu. Kamu sudah mengubah takdir ibu, memberikan cerita dan kebahagiaan yang tak pernah ibu bayangkan sebelumnya.
Terima kasih sudah hadir di dalam hidup ibu, terima kasih sudah berbesar hati memaafkan kekurangan ibu. Terima kasih sudah memberikan sebuah gelar baru untuk ibu.
Asiyah, anak ibu.